Selasa, 22 Mei 2012

Uang Recehku


Selama kuliah dan jauh dari orang tua, aku dituntut untuk mandiri dalam segala hal. Termasuk mengatur keuangan pribadi. Mendapat uang beasiswa, tambahan honor mengajar privat dan sesekali kiriman uang saku dari orang tua membuat aku merasa ready stock money. Setidaknya sudah pernah mengantongi uang dengan nominal yang cukup banyak untuk kalangan mahasiswa, tetapi tidak jarang juga sering kekurangan; berfoya-foya di tanggal-tanggal muda dan super hemat di tanggal 20-an ke atas.


Selama ini dengan uang hasil jerih payahku, aku bebas membeli apa saja yang aku mau tanpa harus merasa bersalah terhadap orang tuaku. Tetapi itu dulu, saat job mengajarku masih lancar dan banyak mendapat tawaran sana-sini, saat kebutuhan kuliahku belum meningkat, saat uang beasiswa datang tepat waktu sehingga bisa menopang kebutuhanku, saat ayah masih rajin bertanya tentang kondisi keuanganku. Tapi sekarang, semuanya bertolak seratus delapan puluh derajat. Bimbel tempat dulu aku mengajar tersandung kasus internal antara manajer dan direktur utama perusahaan event organizer yang menaungi bimbel tersebut hingga memaksa harus tutup. Hal ini menjadi kesedihanku yang pertama, karena itu artinya pengahasilan tambahanku berkurang. Apalagi murid privat yang menjadi sumber subsidi terbesar keuangan pribadiku mogok nggak mau belajar, karena dari awal memang ibunya yang berminat bukan anaknya. Inilah kesedihan keduaku.


Di semester ini aku sok-sokan ikut berbagai kegiatan mulai dari organisasi dan unit kegiatan mahasiswa, ditambah lagi acara-acara kepanitiaan kampus yang mau nggak mau menambah pengeluaran kebutuhanku (untuk iuran kas lah, set up cost kepanitiaan lah dan tarikan-tarikan kecil lainnya). Aku sudah mulai cemas dengan keuangan pribadiku yang mulai kritis. Aku mencoba apply ke beberapa bimbel via e-mail, tetapi belum ada panggilan satupun. Sedihnya lagi desas-desus dari bagian kemahasiswaan, bahwa uang beasiswa tidak bisa turun bulan ini dan akan dirapel selama 6 bulan ke depan karena ada satu dua hal yang tidak aku mengerti birokrasinya. Duh, kenapa semuanya serasa menjadi rumit? Orang rumah terlalu menganggapku mampu mandiri, Ayah tidak pernah menanyakan kondisi keuanganku lagi dan aku pun sungkan untuk sambat minta dikirimin uang. Biarlah mereka yang di rumah tidak tahu kondisi ini. Aku memutar otak bagaimana bisa menghasilkan uang untuk bertahan hidup. Tapi pikiranku buntu, tak ada ide sama sekali. Ya Alloh... kenapa gara-gara uang hidup bisa serumit ini?memang benar kata bang Rhoma, hanya karena rupiah orang menjadi susah!


Uangku sudah benar-benar kritis. Sementara kebutuhan kuliahku semakin minta dipenuhi setiap harinya. Saldo di ATM-ku juga jangan ditanyakan lagi, sudah mencapai ambang batas yang tidak boleh diambil, hanya cukup buat jaga-jaga biar rekening nggak hangus. Astaghfirulloh... bagaimana ini? Aku hampir saja berteriak minta tolong sama orang rumah, tapi aku urungkan niat saat aku berbenah kamar dan melihat amplop coklat yang biasa digunakan untuk melamar pekerjaan terselip di bawah bantal. Ahaa... seketika mataku terbelalak. Aku langsung merasa membaik dan kecemasanku berkurang saat itu juga. Aku membuka amplop dan mataku semakin terbelalak ketika melihat uang-uang receh di dalam amplop itu. Aku baru ingat, kebiasaanku menaruh uang sisa ke dalam amplop coklat yang entah aku ambil dari mana amplop itu, lupa.


Satu per satu aku menghitung, receh demi receh, lembar ribuan yang sudah kumal, sesekali terpekik menemukan lembaran uang dua puluh ribuan; kapan aku naruhnya? Setelah dihitung-hitung uangku ternyata cukup untuk memperpanjang hidup di kota Metro ini selama seminggu ke depan. Urusan seminggu --> --> --> --> akhir minggu depan saja memikirkannya. Yang terpenting sekarang aku masih mengantongi uang meskipun receh. Alhamdulillah..


Aku memanfaatkan dengan baik uang recehan itu, untuk segala hal. Membeli makan siang, bayar angkot, bayar foto copy buku. Masa bodo dengan gerutuan abang angkot melihat recehan uang yang aku serahkan padanya. Malu juga sih saat membayar makan siang di kantin dengan recehan, apalagi sempat diberi senyuman geli dari abang soto mie. Tapi sekali lagi masa bodo, aku nggak akan melakukannya kalau tidak terpaksa, Bang... batinku.


Menjelang tidur, aku kembali menghitung sisa uang recehanku untuk kebutuhan hari esok. Dengan pelan dan penuh kehati-hatian aku kumpulkan uang seratus rupiah sebanyak sepuluh keping, lalu aku plester biar saat ngasih ke abang-abang angkot tidak ada yang jatuh seperti kemarin. Sementara uang lima ratus rupiah aku tumpuk tiap empat keping dan aku plester juga. Lembar ribuan aku biarkan tetap mengisi amplop coklat itu untuk jaga-jaga. Ya Tuhan... betapa receh demi receh ini begitu berguna untuk kondisiku saat ini. Aku meneteskan air mata di sela-sela menghitung uang recehanku. Pertama karena ini memang hal yang paling miris dalam hidupku. Yang kedua aku menangis karena menyesal selama ini telah menyia-nyiakan keping-keping logam receh yang entah beberapa bulan ini aku taruh di mana. Bahkan aku pun lupa sebenarnya recehan yang ada di amplop coklat ini kapan terakhir naruhnya. Kini aku tahu betapa berharganya receh demi receh yang dicari oleh para pengamen angkot, betapa pundi-pundi uang yang mungkin kita miliki tidak akan ada jika tidak berawal dari ratusan rupiah. Seperti kemarin aku harus mengobrak-abrik tas gara-gara uang untuk membayar angkot kurang lima ratus rupiah. Sesuatu yang dulu mungkin kau anggap remeh, cepat atau lambat kau akan merasa bahwa hal itu ternyata bermanfaat juga. Tidak ada yang Alloh ciptakan sia-sia di dunia ini kecuali untuk memberi manfaat dalam hidup kita, seperti isi amplop coklatku yang berawal dari kebiasaan tak sengajaku.


Dalam seminggu itu pula aku merasa menjadi manusia paling miskin sekaligus merasa menjadi manusia paling tangguh karena dapat bertahan hidup dengan kepingan-kepingan receh. Tapi dalam seminggu itu pula aku sadar, cepat atau lambat uang recehku juga akan habis karena kugunakan setiap harinya. Aku kembali memutar otak, tapi kali ini tidak akan kubiarkan otakku buntu. Aku paksa otakku untuk bekerja. Dalam kondisi terdesak dan darurat ternyata otakku mampu berfikir lebih cepat untuk mencari jalan keluar. Aku harus segera tahu bagaimana caranya mendapatkan uang. Ya, meskipun kalau sudah rezeki tidak akan kemana, tapi Mario Teguh pernah bilang,” Kalau sudah rezeki memang tidak akan kemana, tetapi sebenarnya ia ada di mana? Ia tidak akan datang sendiri dan kamu harus mendekatinya.”


Malam itu juga aku beranjak mengirim email untuk apply ke berbagai bimbel (lagi). Aku ingin mengadopsi teori peluang. Aku yakin meskipun hanya satu pasti ada yang tembus alias dapat panggilan. Logikanya saat kita mencoba memanah dengan percobaan cuma satu kali, belum tentu tepat mencapai sasaran. Tetapi jika kita mecoba selama 20 kali percobaan pasti ada beberapa yang tepat sasaran.


Benar saja, teori peluang yang aku adopsi ternyata berbuah hasil juga. Intinya aku mendapat panggilan mengajar. Dari sekitar 10-an bimbel yang aku apply, aku mendapat tawaran sekitar 5. Hanya saja karena waktunya bentrok dengan jadwal kuliahku aku hanya menerima 2. Ya Alloh, semoga ini awal yang baik untuk tidak mengulang mirisnya menggantungkan hidup pada uang receh.


Dua hari --> --> --> -->, kakakku menelpon. Ia menawariku kiriman uang. Tentu saja aku tak kuasa menolaknya. Diam-diam lagi mengaharap kiriman, eh ada yang nawarin. Memang kalau sudah rezeki, benar tidak akan kemana. Alhamdulillah...


Ternyata hidup itu memang sebuah siklus, ada kalanya ia jatuh untuk berbenah menjadi lebih baik dan ada kalanya ia berada di posisi yang paling mujur dan tinggi. Bukan untuk kesombongan tetapi untuk mengingat saudara-saudaranya yang masih bernasib lebih buruk. Untuk sekadar melihat ke luar sana lalu berbisik lirih berterimakasih karena nasibnya jauh lebih beruntung dibanding mereka yang tidur di emperan toko, di kolong jembatan, yang hidupnya mengandalkan uang receh.


Mulai saat ini aku akan sangat menghargai recehan-recehan kecil, aku akan mengumpulkan sisa-sisa recehan seberapa pun kecil nominalnya itu. Karena aku yakin suatu saat nanti ia akan berguna, bukan untuk orang lain tetapi untuk diriku sendiri.


Sumber:  http://www.annida-online.com/artikel-5381-kepingan-uang-receh.html

0 komentar:

Posting Komentar