Tampilkan postingan dengan label Orang Tua Dan Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Orang Tua Dan Anak. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Juli 2012

Sifat Manja Anak

Menyayangi anak tidak pernah salah, namun jika kasih sayang yang terlalu berlebihan erat kaitannya dengan membuat anak menjadi manja. Apakah hal ini salah? Tidak juga. Karena kalau pola pendidikan orang tua sejagad ini sama, bisa dipastikan dunia tak lagi indah.Hanya saja ketika tanpa sengaja kita mendidik anak terlalu manja, selain membuat kita repot, juga akan sedikit merepotkan orang lain yang kelak dekat dengan anak kita, baik itu sahabat, teman bermain, bahkan pasangannya kelak.Sebenarnya sikap manja yang muncul pada diri anak disebabkan oleh kecenderungan anak untuk menuntut perhatian lebih dan keinginannya untuk selalu dilayani oleh orang lain. Salah satu ciri khas anak yang manja adalah sikapnya yang ragu-ragu atau cemas pada kondisi asing atau baru.

Anak yang manja akan sangat tergantung dari objek lekatnya. Munculnya sikap manja pada anak biasanya menjelang usia 1 tahun dan mencapai puncaknya di usia 4-6 tahun atau saat TK. Di usia TK anak mulai dipisahkan dari objek lekatnya untuk beberapa saat.

Beberapa hal yang memicu sikap manja pada anak adalah perilaku dan pola asuh yang bersifat permisif atau mengasuh anak dengan hampir tanpa larangan atau aturan. Apa pun yang dilakukan anak diperbolehkan seperti tidak sekolah, bandel, apa yang diminta selalu dipenuhi dan lain-lain yang sifatnya pembiaran.

Sikap manja juga akan terjadi pada anak jika orang tua dulunya juga mendapatkan pola asuh yang cenderung tertekan atau merasa kurang bebas, maka orangtua bersikap serba membolehkan anak, maka tanpa terasa orangtua telah mencetak anaknya menjadi individu yang manja.

Adapun cara mengatasi anak yang manja secara berlebihan (manja yang sampai menganggu kemandirian anak) yaitu: Tidak memberikan pola asuh yang berpusat pada sikap permisif. Tapi juga tidak berarti melarang semua hal yang ingin dilakukan.

Ketika anak menuntut segala sesuatu yang berlebihan dan cenderung mengatur orang tua. Maka sikap tegas dari orang tua sangat diperlukan. Cobalah mengenalkan hukuman, tidak harus dipukul. Cukup dengan menyuruh anak untuk duduk diam beberapa menit, itu hukuman yang cukup bagai anak.

Libatkan anak pada kegiatan sosial, usaha ini dilakukan agar anak dapat banyak melihat, belajar dan berinteraksi lebih luas. Ketika anak menunjukan sikap manjanya maka orangtua dapat mengalihkan perhatian anak pada hal atau kegiatan yang disukai anak.

Beri kesempatan untuk bermain bersama anak-anak lain, ini untuk menimbulkan sikap pengertian dan berbagi, sehingga anak memiliki kedewasaan dalam bersikap. Orang tua juga harus selalu memberi contoh atau teladan bagaimana bersikap gotong-royong atau saling menolong dihadapan anak.

Beri sentuhan fisik kasih sayang seperti pelukan, ciuman, dan belaian dalam menenangkan anak jika sikap manjanya muncul. Beri juga kalimat untuk menyakinkan anak bahwa apa yang dilakukan tidak baik. Dan jika anak dalam situasi yang sulit, kuatkan dia dengan kalimat-kalimat dukungan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Sebenarnya ada banyak cara untuk membuat anak tidak lagi manja, namun cara-cara tersebut akan sia-sia jika orang tua tidak melakukan perubahan dalam mengasuh anaknya, terutama orang tua yang dekat dengan anak.


Sumber: www.oktomagazine.com

Selasa, 22 Mei 2012

Kebiasaan Anak Menonton TV

Anda pernah bertanya kepada anak Anda, kenapa ia menonton TV? Atau, mengamati dan membuat perkiraan, kenapa ia menonton TV? Barangkali, banyak orangtua tak pernah memikirkan hal ini. Yang jadi perhatian orangtua biasanya adalah bagaimana pola menonton TV anaknya atau apa efek menonton TV bagi anak, tanpa memikirkan mengapa anaknya punya ketertarikan pada TV.
 Padahal, mengetahui alasan anak menonton TV penting bagi orangtua untuk menjadi dasar keputusannya dalam hal mengatur pola interaksi anak dengan TV, atau untuk menentukan langkah apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan anak dengan TV. Rubin, seorang peneliti media, menemukan sejumlah motivasi bagi anak dan remaja tentang mengapa mereka menonton TV.
 
Pertama, motivasi relaksasi. Bagi banyak anak dan remaja, menonton TV membuat rileks atau santai, karena bisa melepaskan ketegangan. Bagi mereka, menonton TV merupakan istirahat yang menyenangkan. Ini misalnya dikatakan Hana (9 tahun), “Sesudah selesai ulangan nanti, aku mau nonton TV sepuasnya! Nggak boleh ada yang larang-larang!” Sang ibu tertawa mendengar celotehan putrinya. Hana memang punya kebiasaan menghabiskan waktunya di depan TV jika sudah selesai belajar atau mengerjakan PR.
 
Kedua, menjadikan TV sebagai teman. Di sini, menonton TV membuat seorang anak tidak merasa kesepian. Mereka menonton TV bila tak ada yang menemani. Ini terjadi pada Ilham (11 tahun). Anak pendiam dan penyendiri ini banyak menghabiskan waktu dengan menonton TV, bermain game dan internet. Anak tunggal ini menyukai animasi dan film-film dokumenter.
 
Ketiga, karena kebiasaan. Mereka menjadi senang menonton dan menjadikannya sebagai suatu kebiasaan, karena TV mudah mereka nyalakan tanpa aturan tertentu di rumah. Saya mengenal sejumlah anak yang menonton TV lebih dari 4 jam sehari, bahkan, ada yang sampai 7 jam sehari. Anak-anak ini bangun pagi karena suara TV. Hampir sepanjang hari TV “on”. Pulang sekolah mereka langsung ke depan TV lagi. Mereka adalah pemirsa yang omnivision, menonton segala acara, termasuk acara-acara dewasa yang sebenarnya tidak cocok untuk mereka. Anak-anak ini menjadi pengemar TV karena kebiasaan di rumah. TV laksana “babysitter” bagi mereka.

Keempat, untuk menghabiskan waktu. Anak dan remaja menonton TV  kalau tidak ada hal lain yang dapat dilakukan, untuk dapat mengisi waktu. TV memberi mereka kegiatan yang dapat menyibukkan (yaitu menonton!). Dalam pengamatan saya, banyak anak “lari” ke TV karena mereka tidak memiliki kegiatan lain yang harus dilakukan. Mereka punya waktu luang, sementara TV tersedia di depan mereka. Ini tidak terjadi pada anak yang memiliki banyak kegiatan. Anak yang sibuk tidak punya waktu lagi untuk menonton TV. Kesibukan bisa saja karena urusan sekolah (belajar, les, ekskul), bermain atau menjalankan hobi. 
 
Kelima, motivasi hiburan. Bagi anak, TV itu menghibur dan menonton TV itu nikmat dan menyenangkan. TV adalah hiburan “murah meriah”. TV mudah dijangkau karena media ini tersedia di rumah. Acara TV sendiri mayoritas adalah hiburan. Orang tak perlu pintar dan tak perlu kemampuan baca-tulis untuk bisa menonton TV. Acara TV bisa ditonton siapa pun. Nah, karena persyaratan menonton TV amat mudah dan orang memang suka dengan hiburan, TV pun menjadi amat menarik.
 
Keenam, untuk interaksi sosial. Bagi sebagian anak, menonton TV merupakan kegiatan yang bisa dilakukan bersama ketika temannya datang. Menonton TV juga membuat adanya bahan pembicaraan saat mengobrol dengan orang lain. Dengan menonton TV anak juga bisa berada bersama dengan keluarga atau kerabat yang sama-sama menonton.
 
Ketujuh, untuk mendapatkan informasi. TV dianggap memberi pelajaran tentang diri sendiri atau orang lain, membuat penonton belajar hal-hal baru dan belajar tentang hal-hal yang mungkin akan terjadi pada diri. Ini misalnya terjadi pada Vivin (15 tahun). Anak perempuan pintar ini penonton setia berita TV. Ia juga menggemari film-film dokumenter yang sering ditayangkan Metro TV. Ia suka ikut-ikutan orangtuanya menyimak talkshow politik dan sesekali menonton acara “Kick Andy” dan “The Golden Ways”.
 
Kedelapan, TV dapat membangkitkan semangat. Bagi banyak anak, menonton TV itu seru, menarik, dan membangkitkan semangat. Pernah melihat anak-anak yang terpaku di depan TV menyaksikan pertarungan di film animasi “Naruto”? Atau anak-anak yang dulu tergila-gila dengan “Smackdown”? Bagi mereka, tontonan semacam ini seru dan membuat bersemangat

Kesembilan, motivasi melarikan diri (escape). Menonton TV membuat anak bisa melupakan kewajiban dan hal lainnya, membuat ia bisa melepaskan diri dari keluarga atau orang lain, atau melepaskan diri dari apa yang sedang dikerjakan. TV adalah tempat pelarian diri yang mudah. Jika sedang sedih atau bete, menonton acara yang menghibur di TV bisa membuat penonton sejenak melupakan kesedihannya. TV juga menjadi media yang menarik untuk menghindar dari seseorang. Orang bisa menonton dengan asyik dan dengan itu membentengi dirinya dari orang lain (misalnya orangtua, anggota keluarga lain), seolah-olah menyatakan, “Please, jangan ganggu aku! Aku lagi asyik nonton.”

         Nah, mengenali ragam motivasi anak menonton TV ini membuat orangtua dapat melakukan sesuatu untuk mengatur interaksi anak dengan TV. Misalnya, jika kita tahu bahwa anak menonton TV untuk menghabiskan waktu, maka ketimbang anak menghabiskan waktu sia-sia dengan TV, orangtua dapat memilihkan kegiatan untuk anaknya. Misalnya, menyuruh anak bermain dengan temannya, mengajak anak bermain bersama atau melakukan aktivitas lain yang menarik seperti memasak, menggambar atau berjalan-jalan. Yang lain adalah mengenali hobi anak dan berusaha agar anak dapat menjalankan hobinya itu. Intinya, menjadikan anak menjadi sibuk atau punya aktivitas, sehingga ia tak lari ke TV.

        Contoh lain, jika anak menonton TV karena kebiasaan dan TV menjadi candu baginya, sebaiknya orangtua turun tangan dengan perlahan “menarik” anaknya dari TV. Pelan-pelan, jam menonton anak dibatasi, acara TV yang boleh ditonton diseleksi, dan sibukkan anak dengan kegiatan lain agar ia melupakan TV.
    
     Mengenali alasan anak dalam menonton TV dan kemudian melakukan langkah-langkah untuk memperbaiki pola interaksi anak dengan TV adalah salah satu wujud dari tanggungjawab kita sebagai orangtua. Tujuannya agar TV dapat digunakan dengan bijak dan anak terhindar dari efek TV yang buruk.


Sumber: http://www.ummi-online.com/berita-75-kenali-alasan-anak-menonton-tv.html